MAKALAH
Pemberian Sanksi Terhadap
Kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil Sebagai Upaya Pembentukan Aparatur Yang Bertanggung
Jawab
Disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Administrasi Negara”
Dosen Pengampu:
Imam Sukadi, M.H
Tim Penyusun:
1.
Sulthan Shalahuddin Nur (11220107)
2.
Sholihatun (11220055)
3.
Elya Intan Kusuma Dewi (11220042)
JURUSAN
HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITA
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………………………………… 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………….…………………………….………… 2
B. Rumusan Masalah…………………………………………………….……………………. 4
C. Tujuan Penulisan……….…………………………………………….………………….…. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Sanksi Administrasi Negara……………………….…………………....
5
B. Jenis
Dan Macam Sanksi Administrasi Negara…………….………………….….. 6
C. Persamaan
Dan Perbedaan Sanksi Administrasi Dengan Sanksi Pidan…. 11
D.
Badan Yang Berwenang Mengusut
Pelanggaran Norma HAN…………….. 12
BAB III PEMBAHASAN
A.
Penerapan Sanksi pada Pegawai Negeri
Sipil………………………………….… 14
B.
Dampak Pemberian SankSi Terhadap
Kedisiplinan PNS……................... 17
BAB IV
PENUTUP
A. Hasil Diskusi……………………………………………………………
B. Kesimpulan……………………………………………………………..
C. Saran……………………………………………………………………..
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai bangsa Indonesia yang
mempnyai cita-cita untuk mewujudkan tujuan Nasional yang telah menjadi landasan
di dalam Alinea ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, maka demi menciptakan cita-cita Negara
tersebut tim penyusun berusaha ingin mengembalikan semangat bangsa Indonesia
dengan beusaha membantu masyarakat dalam hal pemahaman mengenai sanksi-sanksi
hukum yang harus ditaati oleh setiap kalangan masyarakat.
Untuk menjalankan system
pemerintahan di daerah dengan mengandalkan para pegawai negeri sipilnya tidak
terlepas dari adanya konsep Good Governance. Dengan adanya konsep tersebut,
maka sector pemerintah tidak dapat lagi sebagai pemain utama untuk melakukan
hak monopoli dalam penentuan kebijakan publik. Hubungan kemitraan antara
pemerintah, swasta dan masyarakat harus dikembangkan jika paradigma
kepemrintahan yang baik benar-benar akan dilaksanakan. Pemerintah sebagai
organisasi adalah suatu alat saling hubungan satuan-satuan kerja yang
memberikan mereka kepada orang-orang yang ditempatkan dalam struktur
kewenangan. Dengan demikian pekerjaan dapat dikoordinasikan oleh pemerintah
atasan kepada para bawahan yang menjangkau dari puncak sampai dasar dari
seluruh badan usaha.
Pembinaan dan pengawasan
manajemen pegawai negeri sipil daerah dikoordinasi pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam
Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur.
Standar, norma, dan prosedur
pembinaan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah diatur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah. Dalam konteks hukum kepegawaian, Pegawai Negeri
Sipil (PNS) sebagai aparatur negara memiliki peran sentral dalam membawa
komponen-komponen kebijaksanaan-kebijaksanaan dan peraturan-peraturan
pemerintah. Peranan dari Pegawai Negeri Sipil seperti diistilahkan dalam dunia
militer "not the gun, the man behind the gun" yaitu bukan senjata
yang penting melainkan manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang
modern tidak mempunyai arti apa-apa apabila manusia yang dipercaya menggunakan
senjata itu dengan tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar. Namun demikian
fenomena yang terjadi, seringnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) melakukan
pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil, baik pelanggaran ringan, pelanggaran
sedang, maupun pelanggaran berat.
Kedisiplinan sangat
diperlukan dalam kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang dimaksud disiplin di sini adalah kepatuhan
terhadap peraturan-peraturan yang memuat suatu keharusan atau larangan dan bagi
mereka yang tidak mematuhi dikenai sanksi.
“Jatah libur dan cuti bersama
di momen Idhul Fitri mulai 17 Agustus hingga Rabu kemarin (22/8/2012) rupanya
belum cukup di sebagian abdi negara Pemkot Samarinda. Sedikitnya 436 dari 3006
pegawai negeri di 48 SKPD tak masuk kerja alias mangkir di hari pertama kerja
setelah masa cuti bersama. Tahun sebelumnya (2011) tingkat kehadiran pasca cuti
bersama mencapai 98 persen, di tahun ini turun drastis menjadi 85 persen.
Inspeksi yang digelar selama
dua kali (16 dan 23 Agustus2012) lalu oleh pembina pegawai, menunjukkan
banyaknya pegawai di lingkungan Pemkot Samarinda yang tidak disiplin dengan
membolos.Dalam dua kali inspeksi pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Tidak
Tetap Bulnan (PTTB), dan Pegawai Tidak Tetap Harian (PTTH) yang berjumlah 3.006
orang, tercatat 284 dan 346 orang yang tidak hadir.
Instansi yang kurang berhasil
membina pegawainya ternyata berjumlah lebih dari sepuluh SKPD. Diawali tiga
instansi yang memiliki alpa tertinggi: Dinas Cipta Karya dan Tata Kota
(Discipkatakot), Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), serta Dinas Bina Marga dan
Pengairan (DBMP). Disusul Dinas Pendidikan (Disdik), Bagian Humas dan Protokol,
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Dinas Pertanian Perkebunan dan
Kehutanan, Kantor 3 Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah, Serta Dinas Kesehatan.
Sehingga tim penyusun dalam
hal ini menjadikan makalah dengan judul Pemberian Sanksi Terhadap Kedisiplinan
Pegawai Negeri Sipil Sebagai Upaya Pembentukan Aparatur Yang Bertanggung Jawab.
Sebagaimana
tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pegawai Negeri
Sipil:
“Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk
menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.”[1]
A.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan
di atas, maka masalah utama dalam pembahasan makalah kami adalah:
1. Bagaimana penerapan sanksi administrasi pada Pegawai Negeri Sipil yang
tidak disiplin sebagai aparatur yang bertangung jawab?
2. Bagaimana dampak pemberian sanksi Administrasi sebagai aparatur yang
bertanggung jawab?
B. Tujuan
Beranjak dari rumusan masalah
yang akan dilontarkan dalam makalah kami di atas, maka tujuan yang akan dikaji
dalam pembahasan adalah:
1. Mengetahui
penerapan sanksi administrasi pada Pegawai Negeri Sipil yang tidak
disiplin sebagai aparatur yang bertanggung jawab.
2.
Mengetahui dampak dari pemberian
sanksi administrasi terhadap kedisiplinan Pegawai Negeri
Sipil sebagai aparatur yang bertanggung jawab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Sanksi Administrasi Negara
Sanksi
(sanctio, Latin, sanctie, Belanda) adalah ancaman hukuman, merupakan satu alat
pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, UU, norma-norma hukum. Penegakan hukum
pidana menghendaki sanksi hukum, yaitu sanksi yang terdiri atas derita khusus
yang dipaksakan kepada si bersalah. derita kehilangan nyawa (hukuman mati),
derita kehilangan kebebasan (hukuman penjara dan kurungan), derita kehilangan
sebagian kekayaa (hukuman denda dan perampasan) dan derita kehilangan
kehormatan (pengumuman keputusan hakim. Penegakan hukum perdata menghendaki
sanksi juga yang terdiri atas derita dihadapkan dimuka pengadilan dan derita
kehilangan sebagian kekayaannya guna memulihkan atau mengganti kerugian akibat
pelanggaran yang dilakukannya. Sanksi sebagai alat penegak hukum bisa juga
terdiri atas kebatalan perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum. Baik batal
demi hukum (van rechtwege) maupun batal setelah ini dinyatakan oleh hakim.
Sanksi
dalam Hukum Administrasi yaitu “alat kekekuasaan yang bersifat hukum public
yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi Negara.”
Berdasarkan definisi ini tampak ada empat unsur sanksi dalam hukum administrasi
Negara, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik
(publiekrechtlijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).[2]
Pada
umumnya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban atau larangan bagi para
warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala aturan
tingkah laku tidak dapat dipaksakan oleh pejabat tata usaha negara.
A.
Jenis Dan Macam Sanksi Administrasi
Negara.[3]
a.
Jenis Sanksi dalam Sanksi Hukum
Administrasi
Ditinjau
dari segi sasarannya, dalam hukum administrasi di kenal dua jenis sanksi.
1.
sanksi reparatoir artinya sanksi yang
diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk
mengembalikan pada kondisi semula sebelum atau menempatkan pada situasi yang
sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan
pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. misalnya paksaan pemerintah (bestuursdwang),
pengenaan uang paksa (dwangsom),
2.
sanksi punitif artinya sanksi yang
ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda
administratif,
Di
samping dua jenis sanksi tersebut,ada sanksi lain yang oleh J.B.J.M ten Berge
disebut sebagai sanksi regresif (regressieve sancties), yaitu sanksi yang
diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat
pada ketetapan yang diterbitkan. Sanksi ini ditujukan pada keadaan hukum
semula, sebelum diterbitkannya ketetapan. Contohnya: penarikan, perubahan, dan
penundaan suatu ketetapan.
Ditinjau
dari segi tujuan diterapkannya sanksi, sanksi regresif ini sebenarnya tidak
begitu berbeda dengan sanksi reparatoir. Bedanya hanya terletak pada lingkup
dikenakannya sanksi tersebut. Sanksi reparatoir dikenakan terhadap pelanggaran
norma hukum administrasi secara umum, sedangkan sanksi regresif hanya dikenakan
terhadap ketentuan-keentuan yang terdapat dalam ketetapan.
Menurut
philipus M. Hadjon, penerapan sanksi secara bersama-sama antara hukum
administrasi dengan hukum lainya dapat terjadi, yakni kumulasi internal dan
kumulasi eksternal. Kumulasi ekstrenal merupakan penerapan sanksi administrasi
secara bersama-sama dengan sanksi lain, seperti sanksi pidana atau sanksi
perdata. Khusus untuk sanksi perdata, pemerintah dapat menggunakannya dalam
kapasitasnya sebagai badan hukum untuk mempertahankan hak-hak keperdataannya.
Sanksi pidana dapat diterapkan bersama-sama dengan sanksi administrasi, artinya
tidak diterapkan prinsip “ne bis in idem”(secara harfiah, tidak dua kali
mengenai hal yang sama, mengebai perkara yang sama tidak boleh disidangkan
untuk kedua kalinya). Dalam hukum administrasi dengan sanksi pidana ada perbedaan sifat dan tujuan.
b.
Macam-macam Sanksi dalam Hukum
Administrasi.[4]
Macam-macam
Sanksi dalam Hukum Administrasi seperti berikut, Bestuursdwang (paksaan
pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan,
pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah
(dwangsom).
1.
Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang)
Berdasarkan UU Hukum administrasi belanda:
Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah
atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi,
memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan
yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Contoh Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1961 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa ijin yang Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang
merupakan Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk
mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang
atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya.
Paksaan
pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum yang berlaku baik Hukum
tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas pemerintahan yang layak seperti
asas kecermatan, asas keseimbangan, asas kepastian hukum dan lain-lain.
Sebagai contoh
dapat di perhatikan dari fakta pelanggaran berikut ini:
1)
Pelanggaran yang tidak bersifat
substansial
seseorang mendirikan rumah
tinggal di daerah pemukiman, tetapi orang tersebut tidak memiliki izin
mendirikan bangunan (IMB). Dalam hal ini, pemerintah tidak sepatutnya langsung
menggunakan paksaan pemerintahan, dengan membongkar rumah tesebut. Terhadap
pelanggaran yang tidak bersifat substansial ini masih dapat di lakukan
legalisasi. Pemerintah harus memerintahkan kepada orang bersangkutan untuk
mengurus IMB. Jika orang tersebut, setelah diperintahkan dengan baik, tidak
juga mengurus izin, pemerintah dapat menerapkan beestuursdwang, yaitu
pembongkaran
2)
Pelanggaran yang bersifat substansial
Seseorang membangun rumah di
kawasan industri atau seorang pengusaha membangun industri di daerah pemukiman
penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan tata ruang atau
rencana peruntukan (bestemming) yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini
termasuk pelanggaran yang bersifat substansial, dan pemerintah. Hal ini
termasuk pelanggaran yang bersifat substansial, dan pemerintah dapat langsung
menerapkan bestuursdwang.
Peringatan
yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan
bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis, yang
dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara.
Isi
peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut, Peringatan
harus definitif, Organ yang berwenang harus disebut, Peringatan harus ditujukan
kepada orang yang tepat, Ketentuan yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata
harus digambarkan dengan jelas, Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban
jelas dan seimbang, Pemberian beban tanpa syarat, Beban mengandung pemberian
alasannya, Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya.
2.
Penarikan kembali KTUN yang
menguntungkan
Ketetapan
yang menguntungkan(begunstigende bechikking)
artimya ketetapan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan
untuk memperoleh sesuatu melalui ketetapan atau bila ketetapan itu memberikan
keringanan beban yang ada atau mungkin ada.
Penarikan
kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan
mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau
menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu.
Sanksi
ini termasuk sanksi berlaku ke belakang
(regressieve sancties) yaitu sanksi yang mengembalikan pada situasi sebelum
ketetapan itu di buat.Sanksi penarikan kembali KTUN yang menguntungkan
diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau
syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan,
juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang
dipegang oleh si pelanggar.
Penarikan
kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam HAN
terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa,
yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum. Oleh karena itu,
Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak
untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di pengadilan.
Kaidah
HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara yang
menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha
Negara sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.
Sebab-sebab
Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi melingkupi
jika, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat
atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin, subsidi,
atau pembayaran. Jika yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan
untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang
sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan
secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya penolakan
izin.
3.
Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom)
N.E.
Algra, mempunyai pendapat tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya, bahwa
uang paksa sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam
perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna
melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda
dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga.
Menurut
hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang
atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan.
Pengenaan
uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti sebagai
sanksi subsidiaire dan dianggap sebagai sanksi reparatoir. Persoalan hukum yang
dihadapi dalam pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam
kaitannya dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon izin
disyaratkan untuk memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau
pelanggar(pemegang ijin) tidak segera mengakhirinya. Uang jaminan itu dipotong
sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuurdwang sulit dilakukan.
4.
Pengenaan Denda
Administrasiinistratif
Menurut
P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan denda
administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang
ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda
administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang
ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti.
Dalam
pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas-asas hukum
administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pembuat
undang-undang dapat memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk
menjatuhkan hukuman yang berupa denda (geldboete) terhadap seseorang yang telah
melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang langsung
(atrybutie) mengenai saksi punitif ini dapat ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan. Sanksi ini biasanya terdapat dalam hukum pajak, jaminan
sosial, dan hukum kepegawaian. Pada umumnya dalam berabagai peraturan
perundang-undangan, hukuman yang berupa denda ini telah ditentukan mengenai
jumlah yang dapat dikenakan kepada pihak yang melanggar ketentuan. Berkenaan
dengan denda administrasi ini, didalam algemene bepalingen van administratif
recht, disimpulkan bahwa, denda administrasi hanya dapat diterapkan atas dasar
kekuatan wewenang yang diatur dalam undang-undang dalam arti formal.
B.
Persamaan Dan Perbedaan Sanksi
Administrasi Dengan Sanksi Pidana.
Perbedaan
Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika Sanksi Administrasi sasaran penerapannya ditujukan pada
perbuatan, sifat sanksi administrasi reparatoir-condemnatoir (pemulihan kembali
keadaan semula dan memberikan hukuman )prosedurnya dilakukan secara langsung
oleh pemerintah atau pejabat Tata Usaha Negara tanpa melalui peradilan.
Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada si pelaku, sifat condemnatoir, harus
melalui proses peradilan. Adapun kumulasi internal merupakan penerapan dua atau
lebih sanksi administrasi secara bersama-sama, misalnya penghentian pelayanan
dan/ atau pencabutan izin dan atau pengenaan denda.
Seiring
dengan dinamika perkembangan masyarakat, keberadaan sanksi administratif ini
semakin penting artinya, apalagi di tengah masyarakat perdagangan dan
perindustrian. Menurut mochtar kusumaatmadja dan arief sidarta, didalam
kehidupan masyarakat masa kini, dimana segala bentuk usaha besar dan kecil
bertambah memainkan peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat, sanksi
administratif semakin yang dapat berbentuk penolakan pemberian perizinan
setelah dikeluarkan izin sementara (preventif) atau mencabut izin yang telah di
berikan (represif), jauh lebih efektif untuk memaksa orang menaati
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur usaha dan industri dan perlindungan
lingkungan di bandingkan dengan sanksi-sanksi pidana. Itulah sebabnya mengapa
di bidang pengaturan perusahaan industri dan juga di bidang perlindungan dan
pelestarian lingkungan, sanksi-sanksi administrtif lebih diutamakan di
bandingkan sanksi pidana.
C.
Badan Yang Berwenang Mengusut
Pelanggaran Norma HAN
Indonesia sebagai Negara Hukum,
menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap penduduknya. termasuk dalam hal
administrasi Negara. Pemerintah sebagai aparat yang melaksanakan kegiatan
administrasi di Negara ini, tidak menutup kemungkinan untuk melakukan
penyelewengan-penyelewengan kekuasaan, sehingga merugikan masyarakat Indonsia.
Untuk itu, Pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144
diberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang
dilakukan oleh penguasa.
Menurut Undang-undang Pasal 4 Nomor
5 Tahun 1986, Peradilan Tata Usaha Negara adalah “salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman” bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha
Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara dijalankan oleh
Pengadilan Negeri. Bagian Tata Usaha yang dibentuk di samping Bagian Pidana dan
Bagian Perdata yang ada sekarang, dengan banding ke Pengadilan Tinggi, Bagian
Tata Usaha Negara, dan seterusnya, bilamana perlu ke Mahkamah Agung.[5]
Sengketa yang dimaksud adalah
berdasarkan Pasal 1 butir 10 UU No. 51 Tahun 2009 perubahan kedua atas UU No. 5
Tahun 1986, yang menyebutkan bahwa :
“Sengketa Tata Usaha Negara (sengketa administrasi
negara) adalah sengketa yang timbul dalam bidang dalam tata usaha negara
(administrasi negara) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara (pejabat administrasi negara) baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara (keputusan
administrasi negara), termasuk kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
Lembaga-lembaga yang bertugas untuk
menetapkan keadilannya atau dengan perkataan lain bertugas memberi kontrol,
meminta pertanggungjawaban dan memberikan sanksi-sanksinya, maka tindakan
pertama yang harus diperhatikan ialah mencari kebenaran tentang fakta-fakta.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga yang bertugas
menyelenggarakan keadilan ini juga harus memperhatikan kebenaran-kebenaran
tersebut untuk mencapai keadilan.
Kompetensi (kewenangan) suatu badan
pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi
relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan
kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah
hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
Namun, kekuasaan badan Pengadilan
Tata Usaha Negara, menurut Pasal 48 ayat (2) adalah sebagai berikut:
Pengadilan Tata Usaha Negara baru berwenang memeriksa,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara “jika kalau seluruh upaya
administratif yang bersangkutan” telah digunakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
Sistem Peradilan Administrasi Negara yang ada harus dipergunakan terlebih dulu
sampai tidak mungkin lagi, barulah perkaranya dapat dimajukan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara.[6]
Peradilan Tata Usaha Negara pada
dasarnya menegakkan hukum publik, yakni hukum administrasi sebagaimana
ditegakkan dalam Undang-Undang PTUN Pasal 47 bahwa sengketa yang termasuk
lingkup kewenangan PTUN adalah sengketa tata usaha negara.
Peradilan Tata Usaha Negara melalui
UU No 5 Tahun 1986 tidak hanya melindungi hak individu tetapi juga melindungi
hak masyarakat. pasal-pasal yang langsung menyangkut perlindungan hak-hak
masyarakat adalah Pasal 49, pasal 55, dan pasal 67.
D.
Pegawai Negeri Sipil
Menurut
J.H.A. Logemann bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah tiap pejabat yang
mempunyai hubungan dinas publik (open bare dienst betrokking) dengan Negara.
Mengenai hubungan dinas publik ini terjadi jika seseorang mengikat dirinya
untuk tunduk pada pemerintah dan pemerintah untuk melakukan suatu atau beberapa
macam jabatan tertentu dengan mendapatkan penghargaan berupa gaji dan beberapa
keuntungan lain.
Menurut
Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 1 ayat
(1) menyatakan :
a)
Pegawai Negeri adalah setiap warga
Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat ditentukan, diangkat oleh
pejabat yang berwenang dan diserahi tugas Negara lainnya, dan digaji didasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b)
Manajemen PNS adalah keseluruhan
upaya-upaya untuk meningkatkan efesiensi, dan derajat profesionalisme
menyelenggarakan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian yang meliputi
perencanaan, pengaduan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi,pengajian,
kesejahteraan dan penghentian.
Pegawai
Negeri mempunyai peranan amat penting sebab pegawai negeri merupakan unsur
aparatur Negara untuk menyelenggarakan pemerintah dan pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan Negara kita, seperti terdapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpa darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia.
Keempat
tujuan Negara ini hanya bisa dicapai dengan adanya pembangunan nasional yang
dilakukan dengan perencanaan matang, realistik, terarah dan terpadu, terhadap
bersungguhsungguh, berdaya guna dan berhasil guna (S.F. Marbun dan Moh. Mahfud
MD, 2000:98).
Menurut
J.B Sumarlin menyatakan, bahwa agar PNS dapat melaksanakan tugasnya secara
berdaya guna dan berhasil guna, maka pembinaan harus diarahkan untuk menjamin
(Sudibyo Triatmodjo, 1983:93), antara lain :
1. Agar
satuan organisasi lembaga pemerintah mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang
rasional berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang dibebankan kepadanya.
2. Pembinaan
yang terintegrasi terhadap seluruh PNS artinya bahwa terhadap semua PNS berlaku
ketentuan yang sama.
3. Pembinaan PNS atas dasar sistem karier dan
sistem prestasi kerja.
4. Pengembangan
sistem penggajian yang mengarah pada penghargaan terhadap prestasi dan besarnya
tanggung jawab.
5. Melaksanakan tindakan korektif yang tegas
terhadap norma-norma hukum dan norma-norma kepegawaian.
6. Penyempurnaan sistem administrasi kepegawaian
dan sistem pengawasannya.
7. Pembinaan
kesetiaan dan ketaatan penuh pegawai negeri terhadap Negara dan pemerintah.
E.
Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
PNS
baik pusat maupun daerah mempunyai kewajiban setia dan taat pada Pancasila dan
UUD 1945, Negara Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan haknya adalah mendapatkan
gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya.
Gaji
PNS yang diterima harus memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan (Harif
Nurcholis, 2007:250). Setiap PNS berhak memperoleh gaji yang layak dan sesuai
dengan pekerjaan dan tanggung jawab menurut Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 7 menyatakan:
a. Gaji
yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya.
b. Gaji
yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin
kesejahteraan.
c.
Gaji pegawai negeri yang adil dan
layak sebagaimana ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dalam
Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Pasal 8
dinyatakan setiap PNS berhak cuti dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1976
tentang Cuti PNS, ada 6 (enam) macam cuti yaitu :
1) Cuti
Tahunan
2) Cuti
Besar
3) Cuti
Sakit
4) Cuti
Bersalin
5) Cuti
karena alasan penting
6) Cuti
diluar tanggungan Negara
Pengabdian
seorang PNS sangatlah dibutuhkan untuk membantu kelancaran daripada pelaksanaan
fungsi pelayanan administrasi kepada masyarakat sehingga setiap PNS wajib :
a) Setia
dan taat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.
b) Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c) Mentaati segala peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d) Melaksanakan
tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran
dan tanggungjawab.
F.
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Disiplin
Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati
kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
1. Hukuman disiplin ringan, yang
terdiri dari:
a. teguran
lisan;
b. teguran
tertulis; dan
c.
pernyataan tidak puas secara
tertulis.
2. Hukuman disiplin sedang, yang
terdiri dari:
a. penundaan
kenaikan gaji berkala selama 1 tahun;
b. penundaan
kenaikan pangkat selama 1 tahun; dan
c.
penurunan pangkat setingkat lebih rendah
selama 1 tahun.
3.
Hukuman disiplin berat, yang terdiri dari:
a. penurunan
pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun;
b. pemindahan
dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c.
pembebasan dari jabatan;
d. pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Penerapan Sanksi pada Pegawai Negeri
Sipil
Seperti yang telah kami bahas pada
bab sebelumnya bahwa kedudukan hukum seorang Pegawai Negeri Sipil diatur dalam
berbagai perundang–undangan kepegawaian dan berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil
yang sedang aktif melaksanakan tugasnya maupun Pegawai Negeri Sipil yang sudah
tidak aktif melaksanakan tugasnya. Peraturan perundang–undangan tersebut
menjadi pedoman bagi para Pegawai Negeri Sipil untuk menjalankan kewajiban–kewajiban
dan menjauhi larangan –larangannya serta cara memperoleh hak-haknya.
Kedisiplinan Pegawai Negeri Sipil
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan. Pegawai Negeri Sipil
sebagai aparat pemerintah, abdi negara dan abdi masyarakat harus bisa menjadi
teladan bagi masyarakat secara keseluruhan agar masyarakat dapat percaya
terhadap peran Pegawai Negeri Sipil. Disiplin Pegawai Negeri Sipil diperlukan
untuk mewujudkan
aparatur Pemerintahan yang bersih dan
berwibawa.
Pembentukan disiplin dapat
dilaksanakan melalui dua cara, yaitu melalui pengembangan disiplin pribadi
yaitu pengembangan disiplin yang datang dari individu dan melalui penerapan
tindakan disiplin yang ketat, artinya bagi seorang pegawai yang melakukan
tindakan indisipliner akan dikenai hukuman atau sanksi sesuai dengan tingkatan
kesalahan.
Diadakannya disiplin bagi suatu organisasi
pemerintah atau swasta mempunyai maksud dan tujuan tersendiri. Tujuan disiplin
menurut
Moekiyat
adalah :
“Tujuan disiplin baik kolektif maupun perorangan yang
sebenarnya adalah untuk menjuruskan atau mengarahkan tingkah laku pada realisasi
yang harmonis dari tujuan yang diinginkan.”
Seorang pegawai yang sadar akan tugas
dan tanggung jawabnya tentu akan menjalankan kewajiban yang dibebankan
kepadanya dan menjauhi larangan–larangan yang akan menurunkan kredibilitasnya. Sebagai
seorang PNS tentu harus menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti
yang tercantum pada tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan
mendidik Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. Karena itu setiap
pejabat yang berwenang menghukum sebelum menjatuhkan hukuman disiplin harus
memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran
disiplin.
Sesuai
dengan Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin Pegawai Negeri.
(1) Tingkat
hukuman disiplin terdiri dari:
1. Hukuman
disiplin ringan;
2. Hukuman disiplin sedang; dan
3. Hukuman disiplin berat.
Bagi
pegawai negeri Sipil yang melanggar kedisiplinan akan diberikan beberapa
hukuman di atas agar memberikan efek jera bagi para PNS yang melanggar. Berikut
adalah contoh pemberian hukuman kedisiplinan bagi pegawai PNS sesuai dengan
hukuman yang disebutkan dapam Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010.
Hukuman
disiplinan ringan akan dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap PNS yang tidak
masuk kerja dan tidak menaati ketentuan jam kerja seperi:
1.
Teguran lisan bagi PNS yang tidak
masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 5 (lima) hari kerja;
2.
Teguran tertulis bagi PNS yang tidak
masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 6 (enam) sampai dengan 10(sepuluh)
hari kerja; dan
3.
Pernyataan tidak puas secara tertulis
bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 11 (sebelas)
sampai dengan 15 (lima belas) hari kerja;
Sedangkan
hukuman disiplin sedang akan dijatuhkan bagi PNS yang melanggar, seperti :
1.
Penundaan kenaikan gaji berkala selama
1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 16
(enam belas) sampai dengan 20 (dua pulah) hari kerja;
2.
Penundaan kenaikan pangkat selama 1
(satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan sah selam 21 (dua
puluh satu) sampai dengan 25 (dua puluh lima) hari kerja; dan
3.
Penurunan pangkat setingkat lebih
rendah selama 1 (satu) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang
sah selama 26 (dua puluh enam) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kerja;
Dan
terakhir yaitu pemberian hukuman disiplin berat yang akan di jatuhkan bagi PNS
yang melanggar seperti berikut:
1.
Penurunan pangkat setingkat lebih
rendah selama 3 (tiga) tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang
sah selama 31 (tiga puluh satu) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) hari kerja;
2.
Pemindahan dalam rangka penurunan
jabatan setingkat lebih rendah bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau
fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 36
(tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) hari kerja;
3.
Pembebasan dari jabatan bagi PNS yang
menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja
tanpa alasan yang sah selama 41 (empat puluh satu) sampai dengan 45 (empat
puluh lima) hari kerja; dan
4.
Pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang
tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 (empat puluh enam) hari kerja
atau lebih;
Terhadap
PNS yang disangka melakukan pelanggaran disiplin diadakan pemeriksaan. Tujuan
pemeriksaan adalah untuk mengetahui apakah PNS yang bersangkutan benar telah
melakukan pelanggaran disiplin. Pemeriksaan juga bertujuan untuk mengetahui
latar belakang serta hal-hal yang mendorong pelanggaran disiplin tersebut.
Pemeriksaan dilaksanakan sendiri oleh pejabat yang berwenang menghukum atau pejabat
lain yang ditunjuk.
Pejabat
Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah dapat
mendelegasikan sebagian wewenang penjatuhan hukuman disiplin lepada pejabat
lain di lingkungan masing-masing, kecuali mengenai hukuman disiplin berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS yang berpangkat Pembina Tingkat I
golongan ruang IV/b ke bawah. Pendelegasian wewenang menjatuhkan hukuman
disiplin dilaksanakan dengan surat keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian yang
bersangkutan.
Tahap pertama sanksi administrasi yang
diberikan berupa teguran lisan. Alasan pemberian teguran lisan biasanya karena
alasan kelebihan hari cuti, jam masuk kantor yang terlambat atau pulang kantor
yang lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan, dan terlambatnya penyampaian
berkas perkara. Setelah mendapat teguran lisan tersebut, para pegawai biasanya
tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut.
Berdasarkan
fakta-fakta yang telah kita amati, seperti kasus yang terjadi di jakarta.
Adanya razia yang dilakukan oleh Satpol PP di berbagai pusat perbelanjaan, ditemukan
banyak PNS yang sedang jelan-jalan di pusat perbelanjaan pada waktu jam kerja, secara tegas Satpol PP
merazia meraka.
Dapat
disimpulkan bahwa pemerintah mulai menerapkan kedisiplinan kepegawaian PNS
dengan mengadakan razia PNS yang dilakukan waktu jam kerja dan memberlakukan
sanksi administrasi bagi mereka yang melanggar.
B.
Dampak Pemberian SankSi Terhadap
Kedisiplinan PNS
Untuk
menjamin terpeliharanya tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas, dipandang
perlu menetapkan peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil. Peraturan disiplin Pegawai Negeri tersebut
tentu saja mempunyai konsekuensi yang harus ditaati oleh setiap Pegawai Negeri
Sipil. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat pelaku pelanggaran tersebut harus menjalani suatu hukuman
tertentu, diantaranya adalah sanksi administrasi. Tujuan sanksi administrasi
diberikan agar perbuatan pelanggaran tersebut dihentikan. Sebagai contoh adalah
seorang PNS tidak hadir selama beberapa hari tanpa alasan yang jelas. Kemudian
ia memperoleh teguran lisan dari atasannya dengan tujuan Pegawai tersebut tidak
mengulangi kesalahannya.
Pemberian
sanksi administrasi akan menimbulkan dampak baik bagi Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan yang langsung memperoleh sanksi administrasi tersebut maupun
Pegawai Negeri Sipil lainnya. Adanya pemberian sanksi tersebut setidaknya akan
memberikan efek kepada PNS tersebut dimana akan timbul kekhawatiran adanya
sanksi lebih lanjut yang lebih berat.
Adanya sanksi administrasi yang dijatuhkan
kepada seorang PNS hendaknya dijadikan pembelajaran bagi pegawai tersebut dan rekannya.
Namun yang lebih penting lagi dilakukan adalah adanya pembinaan dan pengawasan
agar tidak terjadi pelanggaran–pelanggaran lainnya. Selain itu juga patut
dilihat alasan yang melatar belakangi dilakukannya pelanggaran tersebut.
Pemberian
sanksi tentu saja akan mempunyai dampak baik bagi Pegawai Negeri yang
bersangkutan maupun Pegawai yang lainnya. Ketika seorang Calon Hakim
diberhentikan tidak dengan hormat karena mangkir tidak masuk kerja tanpa alasan
yang jelas selama berbulan–bulan tentu membawa dampak sendiri bagi pegawai
lainnya. Mereka takut melakukan kesalahan yang serupa karena dengan adanya
pemberian sanksi tersebut secara otomatis mereka akan kehilangan statusnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
Pengawasan yang efektif akan memperlihatkan dan
memelihara, disiplin yang baik maupun moral yang tinggi. Setiap pengawas yang menggunakan
berbagai petunjuk dengan sebaik-baiknya, akan memperoleh hasil yang baik dari
para pegawainya. Meskipun demikian, mengenai hal ini ada baiknya juga
menggunakan teknik–teknik pengawasan dan kebijaksanaan–kebijaksanaan management
lainnya yang menurut pengalaman pada umumnya telah menunjukkan keefektifan dalam
mendorong dan memelihara semangat kerja pegawai yang baik.
Menurut
kami pemberian hukuman tersebut sangatlah berdampak terhadap perubahan perilaku
beberapa pegawai PNS. Karena dari hukuman yang mereka terima membuat para PNS
lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya dan lebih memperbaiki
kedisiplinannya, karena tidak ingin mendapatkan hukuman yang sama ataupun hukuman
yang lebih berat lagi.
Namun,
tidak semua PNS jera terhadap hukuman yang diberikan. Sebagian dari PNS ada
juga yang merasa kalau hukuman tersebut masih dalam taraf hukuman ringan maka
mereka tidak merasa takut atas hukuman tersebut.
Pada akhirnya sebuah peraturan beserta
sanksinya, dalam hal ini adalah sanksi administrasi Pegawai Negeri Sipil tidak
akan berdampak besar dalam pembentukan aparatur yang bertanggung jawab bila
tidak adanya kesadaran akan pentingnya kedisiplinan tersebut, tidak ditegakkannya
hukum sebaik mungkin, tidak dilakukan pembinaan yang berkesinambungan serta
pengawasan yang ketat.
BAB IV
PENUTUP
A. Hasil Diskusi
1. Pertanyaan
a. Dwi Ayu:
Pada
realitanya apakah sudah berdampak efek jera bagi Pegawai Negeri Sipil ketika
melanggar kedisplinan yang diterapkan dalam peraturan-peraturan yang sudah ada?
b. Misbah:
Hukuman
apa yang diberikan kepada para Pegawain Negeri Sipil yang melanggar aturan
kedisiplinan itu?
2. Jawaban
a. Dwi Ayu:
Menurut kami
sudah aturang mengenai hukuman yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
melanggar kedisiplinan saat bertugas sudah cukup memberikan dampak efek jera
bagi yang melakukan.
b. Misbah:
Seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang
Disiplin Pegawai
Negeri Sipil. Bahwa Bagi
pegawai negeri Sipil yang melanggar kedisiplinan akan diberikan beberapa
hukuman di atas agar memberikan efek jera bagi para PNS yang melanggar. Berikut
adalah contoh pemberian hukuman kedisiplinan bagi pegawai PNS sesuai dengan
hukuman yang disebutkan dapam Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010.
B. Kesimpulan
1.
Penerapan sanksi administrasi
pada Pegawai Negeri Sipil yang tidak disiplin sebagai aparatur yang bertangung
jawab.
Pembentukan
disiplin dapat dilaksanakan melalui dua cara, yaitu melalui pengembangan
disiplin pribadi yaitu pengembangan disiplin yang datang dari individu dan
melalui penerapan tindakan disiplin yang ketat, artinya bagi seorang pegawai
yang melakukan tindakan indisipliner akan dikenai hukuman atau sanksi
sesuai dengan tingkatan kesalahan. Diadakannya disiplin bagi suatu organisasi
pemerintah atau swasta mempunyai maksud dan tujuan tersendiri.
Tujuan disiplin menurut Moekiyat adalah :
“Tujuan
disiplin baik kolektif maupun perorangan yang sebenarnya adalah untuk
menjuruskan atau mengarahkan tingkah laku pada realisasi yang harmonis dari
tujuan yang diinginkan.”
2. Dampak pemberian sanksi Administrasi sebagai aparatur yang bertanggung
jawab.
Pemberian
sanksi tentu saja akan mempunyai dampak baik bagim Pegawai Negeri yang bersangkutan
maupun Pegawai yang lainnya. Ketika
seorang Calon Hakim diberhentikan tidak dengan hormat karena mangkir tidak masuk kerja
tanpa alasan yang jelas selama berbulan bulan
tentu membawa dampak sendiri bagi pegawai lainnya. Mereka takut melakukan kesalahan yang
serupa karena dengan adanya pemberiansanksi tersebut secara otomatis mereka
akan kehilangan statusnya sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
Pada
akhirnya sebuah peraturan beserta sanksinya, dalam hal ini adalah sanksi
administrasi Pegawai Negeri Sipil tidak akan berdampak besar dalam pembentukan
aparatur yang bersih dan berwibawa bila tidak adanya kesadaran akan pentingnya
kedisiplinan tersebut.
3. Saran
Dalam hal ini
penulis berharap agar tulisan yang telah dibuat ini dapat menjadikan manfaat
untuk pembaca terutama bagi penulis dalam menyusun dan menggali sedikit banyak
ilmu dari tiap materi yang disampaikan penulis. Penulis pun mohon maaf jika
masih banyak kesalahan dari isi tulisan atau sistematika penulisan, karena
penulis juga masih dalam proses belajar. Dan diharapkan arahan atas saran
pembaca dalam mengkritisi tulisan. Kurang lebihnya mohon maaf, penulis
mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
SF Marbun, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, Yogyakarta, UIN Press, 2001.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta,
PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Sunindia, Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan
Peradilan Administrasi, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1992.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010, tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
[2] Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara (Jakarta:PT.RajaGrafindo,2006) h.315
[3] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,
(jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 319
[4] Philipus dkk, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia(Yogyakarta : Gajah Mada University Press), h.
250-265.
[5] Sunindhani dan Ninik
Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi, (Jakarta : PT
Rineka Cipta), h. 151.
[6] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum
Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia), h. 126.